Selasa, 25 Juni 2013

Kutitipkan Puisiku


Kusembunyikan puisiku di antara rintik rindu
yang selalu menghujani kalbu
kala subuh dikayuh mentari
yang ingin berlabuh di dermaga fajar
tempat pagi dan malam selalu bertengkar
sebelum akhirnya berpisah
membiarkan waktu berputar

Kusembunyikan puisiku di balik dinding bisu
tempat kita saling menyandar bahu
bercerita dan menggambarkan waktu
yang menjadikan langit selalu biru
lalu awan berubah kupu-kupu
terbang menyingkap tirai abu-abu
hingga pelangi menepi, tersipu malu

Kini, kutitipkan puisiku
di antara dua bibir ibu
yang tak alpa mendoakanku

Duhai Hari yang Berpelangi

Tuhanku satu
temanku beribu
Agamaku satu
sesamaku berseru
Ahad!

Dua tanganku
Tak akan berpangku
Mulutku satu
Haruslah bermutu
Demi ibu!

Sepasang mata merekam dunia
Sepasang kaki akan beraksi
Sebening embun seharum bunga
Mimpi kuraih cita kupilih
Demi ayah!

Jika senja menjelma malam
Ada bintang yang akan datang
Bila gelap telah usai
Tanda mentari ‘kan menjelang
Duhai hari yang berpelangi
Do’akan aku jadi pemenang!



Cermin Berembun, 24 Juli 2013

Jumat, 21 Juni 2013

Suprise Tak Harus Menunggu Momen


Terkadang tidak butuh hari istimewa atau momen spesial untuk memberikan hadiah atau kado pada seseorang yang spesial. Seperti sahabat, kekasih ( pasangan hidup ), orang tua, anak, guru atau siapa saja. Karena hadiah yang sesungguhnya tidak mengenal batas waktu dan tidak terikat sesuatu kecuali satu: “ ketulusan “.  Hadiah yang sederhana bisa menjadi suprise justru ketika diberikan pada momen biasa. Karena yang diberi pasti merasa suprise sekali, tiba-tiba dapat hadiah. Lalu bertanya-tanya, “ dalam rangka apa?”

Itulah yang saya alami kemarin. Bahkan efeknya masih berasa sampai hari ini, saat saya menuliskan kisah ini. Sambil membayangkan sosok malaikat yang memberikan hadiah itu. Hadiah yang mungkin buat kalian tidak seberapa atau biasa saja. Hadiah yang sudah sangat umum ditemui dan sangat terjangkau dibeli. Tapi bukan itu yang menjadi nilai dari sebuah hadiah. Kalian pasti sudah sangat sering mendengarkan kalimat ini, “ Jangan nilai hadiah ini dari bentuknya, tapi lihatlah ia dari seberapa tulus hati yang memberinya. “ Nice. Kalimat yang sejak dulu membuat saya mengerti satu hal, bahwa menerima harus tutup mata. Bukan berarti ketika menerima hadiah harus merem atau memejamkan matanya. Hehe...Maksud saya, menutup mata di sini adalah tidak melihat apa hadiah yang diberikan dan siapa yang memberikan, namun lebih kepada penerimaan. Bahasa kerennya mungkin “ Qona’ah “ dalam menerima hadiah. Tidak pandang bulu atau pilih tebu. Kecuali hadiah kondom atau barang sejenisnya yang mengundang “was-was atau prasangka” bila kita menerimanya. Sehingga tidak menimbulkan efek samping negatif berupa asumsi miring dari orang banyak. Atau dengan kata lain menghindarkan diri dari mudhorat yang mungkin timbul setelah kita menerimanya. Maka ada baiknya ditolak secara halus dan dengan cara yang santun. Pokoknya sedapat mungkin tidak menyinggung perasaan si pemberi. Nah....hadiah seperti ini biasanya sering mampir ke para petinggi atau orang-orang penting. Untungnya saya tidak berada di posisi ini  sehingga aman dari kemungkinan yang mengerikan itu. Loh, kok tiba-tiba tangan saya bisa membahas soal ini ya. Hehee...maaf tidak sengaja memberi contohnya. Sebab mendadak contoh itu yang muncul di kepala saat jemari sedang asyik menari. Reflek ingat itu. Mungkin karena baru-baru ini membaca berita yang berhubungan dengan itu. Sekali lagi maaf jika ada yang tersinggung. Piss.

Nah lanjut ke cerita awal. Kemarin, sekitar 3 hari yang lalu. Saya benar-benar merasa suprise sekali saat murid saya bernama Ummu memberikan kado pagi-pagi, saat jam pelajaran belum dimulai. “ Ini buat ibuk, “ katanya. Aku bingung, heran, dan bertanya-tanya, “ Dalam rangka apa? “. Benar-benar suprise. Sesuatu sekali rasanya dapat hadiah di saat tidak ada momen apa-apa.
“ Makasih ya, Sayang...” kataku. Ummu hanya tersenyum. Manis sekali.
Kulihat bungkusnya, tertulis  “ Buat: Buk Vivi” ( Gambar 1 ). Aku tersenyum. Sedikit penasaran isinya. Tapi jam pelajaran sudah dimulai, kuurung niatku. Kado itu kuletakkan di atas meja.
“ Buka, Buk. Bukaa...!! “ teriak semua teman Ummu di kelas. Suasana jadi berisik. Aku sempat menolak, tapi mereka tetap memaksa. Baiklah. Sebentar saja, pikirku. Semoga ini tidak termasuk bagian dari korupsi waktu. Toh ini permintaan murid-muridku. Hehee....
Bismillah... Kubuka bungkus kadonya. Tampak kotak kue warna putih bergaris pinggir merah persegi. “ Yeee......Ibuk dapat kue! “ celetuk seorang siswa. “ Horeee...kita makan kue.” Siswa yang lain semangat, kompak mengaminkan temannya yang tadi.
“ Hehee...iya. Nanti kita makan sama-sama ya kuenya. Tapi kita belajar dulu” kataku.
“ Horeeee... Horee... Horeee....” Teriak mereka bersamaan.
Kubuka pelan-pelan kotak kue itu. Aku yang pagi itu belum sarapan, mendadak merasa lapar melihat kotak kue. Padahal belum tentu isinya kue. Tapi apa boleh buat, otak sudah tersihir sugesti. Apalagi aku tahu bahwa orang tua Ummu memang pengusaha kue yang cukup sukses. Kulepaskan lem yang merekatkan tutup kotak tersebut. “ Bismillah....” ucapku lagi. Dan terlihatlah isinya. Taraaaa......
“ Yaaaaaaaaaaaaaahhhh...bukan kueeeeeeeeee.....” sontak anak-anak itu berteriak. Kecewa mungkin. Terlihat dari wajah mereka pagi itu. Tapi apa boleh buat, itulah kejutan. Tidak selamanya kotak kue berisi kue. Tidak selamanya memberi hadiah itu harus ada momen khusus.
Aku berusaha mengarahkan anak-anak agar memahami kondisi saat itu. Dengan bahasa yang mereka pahami.  Alhamdulillah, mereka segera mengerti dan ikut berbahagia menerima hadiah itu.
Ada suratnya ternyata. Ini suprise ke dua ayng aku terima. Luar biasa senangnya. Namun ada rasa haru yang mencumbu kalbu kala butir-butir aksara yang tertulis di selembar kertas itu kubaca.
“ Assalamu’alaykum Wr Wr..
Terimakasih Ummu ucapkan pada Buk Vivi yang udah ngajarin & jaga Ummu di TK A. Ummu pernah digendong sama Ibuk waktu nangis saat Ummu baru masuk TK. Ummu minta izin ya Buk, terimakasih atas kasih sayang & perhatian Ibu. Semoga mendapatkan pahala & ganjaran dari Allah SWT. Aamiin.

Luar biasa perasaanku hari itu. Benar-benar indah cara Allah memberi kejutan lewat perantara berwujud manusia mungil dan menggemaskan seperti Ummu. Haru campur bahagia. “ Terimakasih ya, Robb....” lirihku dalam hati.

Nah.....ini dia malaikat kecil itu. Ummu Salamah namanya, di sebelah kanan. Sedang yang di sebelah kiri itu temannya, Zulaika. Cantik kan? Tidak hanya cantik, mereka siswa yang cerdas dan sholeha. Semoga menjadi anak-anak yang bermanfaat dan selalu menjadi kebanggaan orang tua. Agama dan bangsa sampai mereka dewasa. Aamiin.

Rabu, 19 Juni 2013

Seindah Indah Muara



Sendiri,
Secangkir harapan yang sudah tak hangat lagi
Sepotong mimpi hampir basi
Detak waktu yang tak pasti

Sendiri,
Sinar di binar mata memudar
Sungging senyum mentari hilang
Derap langkah kaki tunggang langgang

Sendiri,
Suara jangkrik menangis tersedu, mengadu
Senja terakhir akan tiba, katanya
Do'a ibu makin syahdu memohon nyawa pada-Mu, aku

Sendiri,
Sekilas masa lalu menjenguk sepi, di sini
Sedang aku tak ingin diganggu sesiapa
Demi masa yang hilang, aku bersumpah bisu

Sejatinya...
Setiap air mengalir akan bertemu muara
Sepasang kaki yang melangkah pasti menemukan pijakan
Sepiku juga begitu, butuh muara dan pijakan
Dan Engkau seindah-indah muara
Sekuat-kuat pijakan


| Vivi Suryani: P. Berandan, 19 Juni 2013 |

Selasa, 18 Juni 2013

Aku, kamu, kita


Kakekku, kakekmu kakek kita
dulu lahir di tanah merah
sebab menyatu tanah dan darah
seperti lekatnya daging dan tulang
sejak lahir menjadi pejuang
tak kenal bermain kecuali perang

Kakekku, kakekmu, kakek kita
dulu tidur dengan mata terbuka
terjaga di antara dentum peluru dan tangis ibu
memeluk masa depan di bawah cerutu
indah purnama pun tak terbaca
warna senja tak lagi jelita
sebab lagit selalu sama; mendung


Kakekku, kakekmu, kakek kita
semasa muda terbiasa tanpa alas kali
menapaki aspal yang dimasak mentari
berpeluh tanpa keluh, mencari sesuap nasi
bukan untuk perut sendiri
tapi terkenang wajah lapar anak isteri
di tangan penjajah tak berbudi

Kakekku, kakekmu, kakek kita
rela mati demi negeri tercinta; Indonesia
tak hirau maut di depan mata
demi selembar kain bernama bendera
langit dan bumi menjadi saksi sejarah
bahwa tangis, darah dan keringat pernah tumpah


Aku, kamu, kita
harusnya menjadi bunga bangsa yang selalu mekar
mengikat gelora hati anak negeri
menjaga pertiwi sampai mati
sebab kakekku, kakekmu, kakek kita
adalah bendera yang terus berkibar
di tiang harapan yang tak pernah memudar



.
| Vivi Suryani, 04 Juni 2013 |

My Kompasiana :
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2013/06/18/aku-kamu-kita-569781.html

Jumat, 14 Juni 2013

Menjenguk Masa Lalu


Lii, aku ingin menjenguk masa lalu
bertanya kabar kunang-kunang
yang dulu menemaniku saat mati lampu
atau ketika pekat malam tak bisa disapu
oleh kerlip cahaya kejora
sebab malam tampak bisu
pada rembulan tak saling sapa

Lii, aku ingin menjenguk masa lalu
duduk di samping luar kamarku
di bawah jendela saat di marahi Ibu 
melihat kunang-kunang berkejaran
bermain petak umpet di pohon bambu
namun semua berhenti bercumbu
dan memilih terbang di dekatku
saat aku tersedu-sedu

Lii, aku ingin menjenguk masa lalu
mengambil sisa-sisa cahaya bisu
yang ditabur jutaan kunang-kunang
di taman sebelah rumah kita
lalu mengajaknya ikut dengan ku
semoga ia mau...
Vivi Suryani, 14 Juni 2013

Senin, 10 Juni 2013

Fathon Ingin Ke Syurga

Hari ini anak-anak di sebuah TK Islam sangat serius mendengar cerita yang disampaikan gurunya tentang malaikat dan tugasnya. Terlebih lagi Fathon yang sangat cerdas dan periang. Matanya sampai tak berkedip.
" Buk, kalau malaikat pencabut nyawa siapa namanya tadi? Izrail atau Isrofil? "
" Izrail, sayang. Kalau Isrofil tugasnya mniup terompet saat hari kiamat nanti. Memang kenapa tanyanya serius sekali? "
" Gak apa-apa, Buk. Hehe..." 
*** 

Tiba hari jum'at. Anak-anak biasanya praktek sholat di hari ini. Dan gurunya sering sekali menceritakan syurga dan neraka.
" Jadi, kalau mau masuk syurga harus sholat. Harus jadi anak yang sholih " kata gurunya saat ingin mengajak anak-anak berwudhu'.
" Buk, Fathon ingin sekali ke syurga. Fathon ingin melihat burung-burung dan pohon-pohon yang ada di sana. Ingin makan buah-buahan dan minum susu. Pasti enak. " Fathon berimajinasi. " Tapi, Buk. Kenapa Fathon gak bisa-bisa masuk syurga? Padahal Fathon sudah sholat, sudah jadi anak yang baik? " Tanya Fathon pada sang guru.
" Iya, kita gak bisa langsung masuk syurga. Makanya harus sholat dan jadi anak sholih dulu nanti kalau sudah meninggal akan dimasukkan ke dalam syurga" jawab sang guru sekenanya.
" Berari kita harus meninggal dulu ya, Buk? "
Sang guru tidak menjawab karna teman-teman Fathon mulai rewel dan berebut air sehingga gurunya tak mendengar pertanyaan Fathon selanjutnya. 

***

Keesokan harinya. Ba'da shubuh biasanya Fathon sudah bangun namun kali ini tidak ada suara krasak-krusuk dari kamarnya. Sang ibu pun membangunkan Fathon, karna mengira anaknya masih terlelap tidur. Setelah tiba di kamarnya, betapa terkejutnya sang ibu yang menemukan anaknya sedang tergeletak di lantai, tidak jauh dari tempat tidurnya. Di tangan kanannya ada sebuah pensil dan tangan sebelahnya lagi memegang selembar kertas.
" Malaikat Izrail, tolong cabut nyawa Fathon. Fathon ingin ke syurga "

Ibunya setengah pingsan memeluk erat tubuh anaknya yang jenius itu.

Daun Kehidupan Alifa


" Aliiifaaa..." Asna dan Liana memanggil Alifa. 
" Iya...." 
" Main, yuk! " 
" Main apa? " Alifa sedang asyik menyusun peralatan belajarnya sehabis pulang sekolah tadi. 
" Main masak-masakan kayak kemarin. Nanti aku jadi pedagang sayuran, Asna dan kamu jadi ibu-ibunya. " Jelas Liana. 
" Aku aja yang jadi pedagangnya " Pinta Alifa. 
" Gantian, dong. Kemarin kan kamu udah jadi pedagang. Jadi hari ini gantian sama aku. Nah, besok baru gantian sama Asna. " Liana mengatur peran temannya hari ini. 
" Yaudah, tunggu ya aku simpan ini dulu. Kalian pergi aja duluan ke tempat kita main kemarin, nanti aku datang ." Alifa menyetujui aturan main hari ini. 
Asna dan Liana pun berangkat ke tempat biasa mereka main. Di sebuah lapangan kosong bekas ladang yang sudah hampir dua tahun ditinggal pemiliknya inilah mereka bermain masak-masakan. Suasana pedesaan yang tampak asri membuat anak-anak ini selalu bisa menikmati hari. Aneka buah, bunga dan pohon ada di sekitar mereka bermain. Tidak seperti anak kota yang mungkin lebih senang main boneka. Alifa, Asna dan Liana lebih senang bermain masak-masakan. Bocah usia tujuh tahunan ini sudah memiliki hobi masak sejak kecil dikarenakan sering membantu ibunya di dapur. 
Daun keladi, daun pisang, daun sirsak dan daun-daun lainnya adalah jenis sayuran yang biasa mereka masak. Dimana daun sirsak mereka sepakati sebagai alat pembayaran alias uangnya. Setiap hari daun-daun akan berserakan di sekitar tempat mereka bermain. Bukan karena angin yang membuatnya gugur. Tapi karena anak-anak itu memetiknya dari tiap-tiap ranting. Pohon sirsak yang tidak terlalu tinggi itu masih bisa mereka capai kadang juga mereka panjat. Berebut mengambil daunnya sebanyak mungkin sebab siapa yang paling banyak mengumpulkan daun sirsak maka dialah yang paling banyak uangnya alias paling kaya di antara mereka. 
Peristiwa ini hampir setiap hari terjadi. Lebih-lebih kalau hari libur mereka bisa bermain lebih lama dan lebih ramai. Setiap hari daun-daun itu terbuang begitu saja. Anak-anak yang masih lugu itu sungguh tidak mengerti manfaat tumbuh-tumbuhan. Daun-daun itu mereka buang begitu saja tanpa peduli apakah daun itu akan sedih atau tidak karena sudah disia-siakan. Daun sirsak setiap hari akan bertaburan di bawah pohonnya. Dan keesokan harinya mereka akan mengambil daun sirsak yang baru sebagai uang mereka membeli sayuran dan kebutuhan memasak lainnya. Begitu seterusnya. 

*** 

Dua belas tahun berlalu. Alifa, Asna dan Liana sudah beranjak dewasa. Mereka sudah melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi yang berbeda-bada. Tiga sahabat dekat ini masih sering berinteraksi lewat Handphone sekedar menanyakan kabar dan curhat-curhatan. Namun tidak ada yang pernah membahas peristiwa main masak-masakan itu lagi. 
Sudah tiga bulanan ini Alifa tidak bisa dihubungi. Asna dan Liana akhirnya memutuskan untuk pulang kampung demi menemui sahabatnya itu. Sesampainya di rumah Alifa, Asna dan Liana melihat sahabatnya Alifa sedang terbaring lemah di atas ranjang birunya. Alifa yang terkejut dengan kehadiran dua sahabatnya itu hanya bisa tersenyum pasi. 
" Apa yang terjadi Alifa? " Tanya Asna. 
" Kau tidak memberi kabar sama sekali. Sudah tiga bulan nomormu tidak bisa dihubungi. Begitu juga keluargamu, tidak ada yang bisa dihubungi. " Liana menimpali. 
" Maafkan aku, ya. Sudah bikin kalian khawatir. Aku sengaja tidak memberi kabar karna takut mengganggu kuliah kalian berdua. Soalnya sekarang kan sudah detik-detik akhir kuliah, kalian pasti sibuk ngurusin skripsi. Aku tidak mau menambah beban pikiran kalian. " Alifa tersenyum lebih lebar. 
" Tapi kamu itu sahabat kami, Alifa..." Asna mulai berkaca-kaca. 
" Aku baik-baik saja, Asna sayang. " 
" Sebenarnya apa yang terjadi padamu sobat? " Liana bertanya. Suasana hening sejenak. 
" Kata dokter, aku hanya terkena kanker otak ." Jawab Alifa mencoba tersenyum sekuat mungkin. 
" Apa? Hanya?? " Asna tak kuasa menahan airmatanya. Suasana berubah menjadi haru. Langit biru siang itu menjadi kelabu. Tiga sahabat ini saling berpelukan. Melepas kerinduan sekaligus saling memberi kekuatan. 
" Kalian masih ingat tidak waktu kita kecil dulu, kita sering sekali main masak-masakan dan jualan sayuran. Kita menjadikan daun sirsak sebagai uang untuk beli alat-alat dan bahan untuk masaknya. Aku pikir itu hubungan terakhirku dengan daun sirsak tapi siapa yang menyangka ternyata Allah menginginkan aku untuk bermain lagi dengan daun-daun itu ketika dewasa dan mungkin untuk selamanya. Karena keluargaku tidak punya biaya untuk operasi maka seorang tabib menyarankan agar aku mengkonsumsi daun sirsak setiap hari sebagai ganti kemoterapi. Kalau saja pihak rumah sakit waktu itu mau bergabung dengan kita untuk main masak-masakan pasti dia mau menerima daun sirsak ini sebagai uang untuk biaya operasiku. Tapi ternyata kisah sudah berubah alur dan skenarionya, daun sirsak yang dulu menjadi uang, kini sudah beralih fungsi menjadi penyambung nyawa untukku. Kalau tau begini, mungkin aku tidak akan membuang daun-daun sirsak saat kita kecil dulu. Aku akan mengkonsumsinya setiap hari sebelum penyakit ini menghampiri. Heheee...." Alifa mencoba mencairkan suasana karena tak ingin melihat dua sahabatnya tambah khawatir. 

Sejatinya, semua yang ada di alam dan di kehidupan ini pasti memiliki manfaat. Sebab Allah tidak akan menciptakan sesuatu tanpa manfaat walau sekecil apapun itu. Karenanya janganlah membuang atau menyia-nyiakan sesuatu yang ada di sekelilingmu. Seperti apapun tidak bermanfaatnya sesuatu itu bagimu saat itu selama ia tidak memberi mudhorat apa-apa maka jangan pernah menyia-nyiakannya. Karena boleh jadi ia tidak berguna hari ini namun sangat engkau butuhkan suatu saat nanti. Atau bila pun ia tidak berguna bagimu mungkin sangat bermanfaat bagi orang lain. Alifa kini mengerti bahwa begitu berartinya daun sirsak bagi kehidupannya. 

Minggu, 09 Juni 2013

Dza dan Na




Pagi itu wajah Moreza tampak begitu ceria melebihi biasanya. Anak yang tergolong hiperaktif ini sejak pagi-pagi sekali sudah tak sabar ingin ke sekolah. Ia tampak semangat luar biasa membereskan dan menyusun sendiri perlengkapan sekolahnya. Bocah berumur 5 tahun itu rupanya ingin segera memberi tahu ke teman-temannya kalau ia sudah " hebat dan cerdas karna sudah Iqro' 2 ", demikian kata guru privatenya yang tak lain aku sendiri.

" Bundaa...cepat lah kita perginya ."
" Sebentar, Andra. Bunda siapin bekalmu dulu ."
Anak yang memiliki nama lengkap Moreza Adriandra ini lebih senang dipanggil Moreza oleh teman-teman sekolah dan gurunya sementara Ayah dan Ibunya memanggilnya Andra. Ia sudah menunggu sang bunda di gerbang pagar rumahnya. Setelah menunggu beberapa menit akhirnya mereka pun berangkat.

Setibanya di sekolah ia langsung berlari secepatnya setelah mencium tangan sang bunda. Buru-buru masuk ke kelas dan menaruh tasnya lalu mencari teman-temannya yang lain untuk bermain.

Wajahnya tetap seriang tadi sebelum berangkat sekolah sampai lonceng masuk berbunyi. Wajahnya bertambah sumringah saat tiba gilirannya mengaji.
" Woy, aku sudah iqro' 2 loh ," sambil menunjukkan buku qiro'ati kepada temannya.
" Yah, baru juga iqro' 2. Aku pun sudah. "
" Aku sudah mau iqro' 3 lagi ," sahut temannya yang lain.

Moreza langsung diam. Bagaimana mungkin temannya tidak takjub melihat prestasinya ini. Padahal sebelumnya ia susah sekali mengaji karena daya ingatnya terhadap huruf berlambang arab itu sangat rendah. Sekarang setelah ia berusaha keras. Setelah ia mengikuti kemauan sang bunda untuk diberi les tambahan belajar di rumah. Setelah ia bersusah payah berjuang untuk bisa seperti teman-temannya yang lain. Ia tidak mendapatkan apresiasi. Padahal semua yang ia lakukan, ia yang sejak pagi-pagi sekali tak sabar memberi kabar gembira ini pada teman-teman agar mereka bangga. Ternyata tidak diberi apresiasi apa-apa. Padahal guru lesnya bilang dia begitu hebat dan cerdas. Ia masih saja tampak tidak cerdas oleh teman-temannya. Senyum yang mengembang bak mentari yang mekar itu kini pudar. Ia terpaku dan membisu sampai tiba waktunya pulang.

Sore harinya, seperti biasa guru privatenya datang. Moreza sudah stand by di ruang belajarnya. Semua perlengkapan belajar sudah tersedia. Aku belajar satu hal darinya, meski ia tidak secerdas teman-temannya tapi semangat dan keinginannya untuk bisa mengejar ketertinggalannya itu sungguh luar biasa. Ia selalu menyambutku dengan senyum gigi tanggalnya yang tetap imut. Ia benar-benar siap untuk belajar. Dan aku merasa berharga baginya sebab hampir tidak pernah ia tidak berada di ruang belajarnya dengan kondisi siap. Kecuali ketika aku datang, ia belum bangun. Aku pun yakin, suatu saat nanti ketika ia besar ia akan menjadi orang sukses yang hebat.

Les dimulai. Seperti biasa aku akan memuraja'ah hafalan surah pendeknya. Al-Faatihah sampai Al-Ma'un. Luar biasa sekali menurutku. Sebab dulu ketika aku seumurannya bahkan aku belum mengenal hijaiyyah, " boro-boro " menghafal surat pendek sebanyak itu. Dan alhamdulillah daya ingatnya senakin baik sekarang. Ia sudah lebih mudah dan lebih cepat menghafal. Setelah muraja'ah selesai barulah tiba saatnya membaca iqro. Aku sengaja mendahulukan pelajaran berbau syurgawi di atas duniawi. Mendahulukan hafalan dan qiro'ati sebelum belajar membaca, menulis dan berhitung. Agar ia terbiasa mendahulukan urusan akhiratnya ketika dewasa nanti.
" Buk, kata ibuk Moreza pintar dan hebat..." wajahnya sedikit cemberut.
" Iya, memang hebat. Pintar lagi "
" Kata Ibuk kalau sudah iqro 2 berarti hebat. Tapi mereka bilang Moreza gak hebat. Moreza belum iqro 3 seperti Aqil. "
" Owh...tidak apa-apa. Iqro' 2 juga pintar. Sebelum iqro' 3 ya memang harus iqro' 2 dulu. Nanti juga bisa iqro 3. Makanya kita harus lebih semangat lagi belajarnya. Lebih serius lagi. Biar cepat iqro' 3. Okey? "
" Okeyyy !!! " senyumnya mengembang kembali.

Setelah selesai halaman pertama iqro ke 2. Semangat Moreza mulai tidak stabil karena huruf " Dza dan Na " yang sulit dibedakannya. Karena hurufnya sudah mulai bersambung.
" Na na na, na ta na, na ba ba, ba na na... " Baris pertama mulus.
Tiba baris ke empat.
" Ba da ro, na dza ro, dza...dza...dza..." Ia kesulitan menyebutkan huruf selanjutnya. " Wa dza dza ," lanjutnya berusaha menyempurnakan bacaanya.
" Wa Na Dza " Aku membetulkan bacaanya.
" Kok wa na dza, buk? Wa dza dza, lah. Ini kan dza " Katanya sambil menunjuk huruf nun berbaris atas yang berada di tengah huruf waw dan dza yang juga berbaris atas itu.
" Ini Na, kalau dza yang ini " Kataku sambil menunjuk huruf yang ada di sebelahnya.
" Ini kan dza buk. Titiknya ada di samping sedikit, kalau na kan titiknya di tengah. Kayak gini, ni..." Ia menunjuk kalimat yang lain sebagai contoh.
" Dza dan na memang mirip. Apalagi kalau di sambung begini. Bedanya, kalau dza ga bisa disambung tapi na bisa. " Kalimatku memancing protesnya.
" Loh...ini dza nya disambung. Berarti ini dza, dza juga bisa disambung " Keningnya mulai berkerut tapi tetap ngotot dia tidak salah. Luar biasa!
" Nah...ada lagi bedanya. Kalau na bisa di sambung di mana saja. Di awal bisa, di akhir juga bisa. Kalau dza ga bisa kayak na. Dza cuma bisa disambung kalau letaknya di belakang. Kayak gini, wa na dza. Coba lihat yang ini, dza na ba. Dza nya di awal, ga disambung, kan? "
" Iya, buk. Kenapa bisa gitu? "
" Karena memang sudah begitu aturan dalam bahasa arab " Aku tidak menemukan jawaban lain di kamus penegetahuanku. Sehingga ia bertanya lagi. Hiks.
" Kenapa orang arab bikin aturan kayak gitu, buk? Kenapa cuma na aja yang bisa digabung dimana aja. Kenapa dza nya enggak? "
" Ya supaya bisa membedakan yang mana dza, yang mana na. Biar Moreza gak bingung bacanya. Kalau semuanya sama, nanti jadi bingung bedainnya. Ya kan? "
" Iya, mengangguk "
Dan ku pikir itu selesai, ternyata ia masih saja menanyakan perbedaan Dza dan Na. Sehingga waktu belajar hampir habis hanya untuk membahas perbedaan Dza dan Na. Moreza tampak benar-benar serius memikirkan perbedaan Dza dan Na, sore itu. Entah apa yang muncul di imajinasinya dikarenakan Dza dan Na. Dza dan Na. Huruf yang cukup menyita perhatiannya. 

Berbagi

Harusnya kita beriring sejalan
dalam seiring do'a
demi teriringnya salam
agar tercapai cita-cita
seperti iringan semut
yang tak pernah berjalan sendiri
yang selalu berbagi rezeki
agar sebangsanya tak lapar lagi


Menunggu Hujan Berhenti


Hujan masih menggelitik seluruh tubuh bumi
Dedaunan basah masih saling bercengkrama dengan rinainya
Sedang para amfibi tak sudah-sudah bertembang suara
Saling menunjukkan kelebihan vokal masing-masing
Tidak peduli siapa yang akan lolos audisi
Bahkan mungkin tidak akan masuk dapur redaksi
Ahh...begitulah cinta
Jika menyanyi sudah menjadi sesuatu yang dicintai
maka tak peduli hari sudah pagi
mereka akan terus bernyanyi sampai hujan berhenti


Di kamar, menikmati atap yang bocor.
06 Juni 2013
 —