Minggu, 16 September 2012

Suamiku Gondrong


Suamiku Gondrong

Hari itu, pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Sebelum adzan subuh aku sudah mandi lalu membangunkan suamiku tercinta yang masih tertidur. Tampaknya ia masih mengantuk karena semalaman lembur menyelesaikan pekerjaan yang harus diselesaikan minggu ini. Sebenarnya aku tak tega membangunkannya tapi apa boleh buat, adzan hampir berkumandang. Aku tak ingin melewati subuh ini dengan sholat sendirian karena sudah seminggu ini suamiku lembur terus di kantornya dan dengan sangat hati-hati aku pun membangunkannya lalu berbisik, " Mas...bangun dong sayang, udah adzan subuh nih.. Kangen, pengen sholat bareng mas. “
Ia membuka matanya perlahan dengan wajah agak kusut dan rambut berantakan, ia menatapku. Akupun melontarkan senyuman manis untuknya. " Badan mas pegel semua, sayang..masuk angin kayaknya, " katanya sambil membalikkan tubuhnya ke arahku.
" Iya...mungkin karna tidurmya larut malem. Yaudah, sekarang bangun dulu, mandi trus wudhu biar seger. Abis itu kita sholat bareng. Okey? Rara tunggu di musholla yah. ". Ia hanya menatapku dan tersenyum lalu beranjak dari tempat tidur. Akupun berlalu ke arah dapur. Sambil menunggu sang suami mandi, akupun menyiapkan sarapan pagi.
Selang 15 menit, aku ke musholla sebuah ruangan kecil di sudut rumahku. Ternyata suamiku sudah berada di sana lebih dulu. Kamipun sholat subuh berjama'ah. Selesai sholat, aku mencium tangannya dan ia pun mencium keningku.Oh, Tuhan...sejuknya, begitu tentram di hati. Baru seminggu tak bertemu aku sudah sangat rindu. Maklum saja, sejak 2 tahun menikah kami selalu sholat shubuh berdua. Momen ini begitu indah dan berharga untuk menambah harmonis hubungan yang sudah halal ini.
Sholat shubuh pun selesai. Aku mencium tangan suamiku kemudian duduk bersama untuk dzikir pagi. Setelah itu, kami beranjak ke dapur menyantap sarapan pagi yang sudah ku persiapkan sejak tadi. Sambil sarapan kami pun berbincang-bincang seputar kesibukannya akhir-akhir ini sampai akhirnya aku terdiam ketika suamiku meminta izin untuk ke luar kota.
" Ada tugas mendadak dari boss. Mas harus menemaninya ke Jakarta selama beberapa minggu.  Boleh kan, sayang?", ucap suamiku. " Mas tau, rara ga pengen ditinggal. Mas juga sudah bicara sama Boss tapi katanya mas adalah satu-satunya karyawan yang dia percaya untuk melakukan tugas ini". Melihatku masih diam, suamiku melanjutkan perkataannya. " Rara tau kan ini adalah amanah besar buat mas dan mas harus bisa menjalankan amanah ini dengan baik. Nanti kalau sudah sampai di sana, mas langsung kasih kabar dan kalau ada waktu senggang ntar mas telpon trus ngobrol deh sama rara", bujuknya sambil tersenyum.
Aku hanya menganggukkan kepala, tanda setuju walau dengan berat hati. Sebenarnya aku tidak setuju dengan keputusan Boss-nya. Seperti tidak ada karyawan yang lain saja. Padahal dia punya banyak karyawan, batinku protes. Tiba tiba saja mataku berkaca kaca. Ada rasa sedih tak ingin ditinggal suami. Kepalaku merunduk, menyembunyikan butiran air mata yang hampir tumpah. Tak ingin ia tahu kalau aku menangis. Tapi ternyata ia lebih dulu tahu. Ia pun mengangkat wajahku dengan jemari tangannya. " Loh...kok nangis? Mas cuma pergi untuk beberapa minggu. InsyaAllah nanti juga kembali. Jangan nangis lagi ya, Sayang..." katanya lembut sambil mengusap air mataku. Aku kembali menganggukkan kepala lalu tersenyum padanya. Ia pun mengelus kepalaku dengan lembut.

#  #  #
Selesai sarapan pagi, aku langsung menyiapkan keperluan suamiku selama di luar kota karena ia harus datang lebih awal ke kantor hari ini. Ia menemani dan membantuku mengemas barang-barangnya. Setelah selesai, kamipun beranjak ke luar. Aku hanya mengantarnya sampai pintu rumah saja karena ia akan berangkat bersama bossnya dari kantor.
" Makasih ya sayang sudah menyiapkan semuanya.Ya udah...mas berangkat dulu ya. Doakan semua sukses, mas selamat pergi dan pulangnya. Rara baik-baik di rumah, nanti kalau ada apa-apa telpon mas yah..." ia menatapku sambil tersenyum.
" Iya mas. Mas juga hati - hati ya. Semoga semuanya dimudahkan. Rara sayang mas Yuda. Baarokallah..." aku mencium tangan suamiku, lama.
" Hu ‘um...makasih ya sayang. Mas pamit dulu. Assalamu'alaykum", ucapnya sambil mengecup keningku.
" Wa'alaykumussalam wa rohmatullah wa barokaatuh ", jawabku melepas kepergiannya.
¤  ¤  ¤
Ke-esokan paginya aku dibangunkan dengan deringan HP. Tepat pukul 04.00 wib sesaat sebelum adzan subuh berkumandang, suamiku mengirimkan SMS merah muda. Ceileeee...cuwit-cuwit.
"  Kamu adalah puisiku.
Senyummu bait-bait yang merangkai syairku.
Hilang semua tulisan puisiku karnamu.
Jangan hilangkan senyummu agar bait syairku mengalir.
Selamat pagi istriku, tercinta  "
Indah sekali !! Kata-katanya membuatku senyum-senyum sendiri menatap layar HP yang tiba-tiba berubah menjadi merah jambu. Suamiku paling bisa membuatku tersenyum.
" Terimakasih pangeranku..Selamat menunaikan sholat subuh  ". SMS terkirim.
Aku beranjak dari tempat tidurku lalu wudhu dan sholat subuh.Seperti biasa, setiap hari aku menyiapkan sarapan pagi. Tapi kali ini bukan untuk sang suami melainkan untuk orang tuaku tercinta.

¤  ¤  ¤

Selama ditinggal suamiku, aku diminta tinggal bersama orang tuaku di Jogya sampai suamiku pulang. Ibuku sengaja datang ke Purwokerto untuk menjemputku.  Minggu ke-2 kepergian suamiku ke Jakarta aku, ibu dan bapakku duduk-duduk di teras rumah sambil berbincang menjelang sore hari.
" Nduk...kalau bapak lihat, rambut suamimu sudah tambah gondrong. Apa ndak pernah disuruh potong? Trus apa kamu ndak malu kalau jalan sama suamimu? Ntar dikatain jalan sama preman lagi ", tanya bapak.
" Huss...bapak iki ngomong opo ta. Ndak baik ngatain mantunya preman. Walau begitu, si Yuda itu mantu yang baik, santun sama kita. Iya ta ? ", sahut ibu mendengar perkataan bapakku.
Sementara itu, aku hanya tersenyum kecil sambil menyodorkan secangkir kopi pada bapak.
" Loh...bapak iki ngomong sama kamu nduk, kok malah senyam-senyum. Hmm, coba kalau dulu kamu mau terima lamaran si Hari mahasiswa lulusan al-Azhar, kairo itu. Anaknya sholeh, pinter, rapih, santun, tampan lagi. Lah iki suamimu mirip preman pasar ", si Bapak ngedumel.
Tampaknya bapak masih mengharapkan mas Hari jadi menantunya.
" Iya, rara denger kok. Sebenarnya sudah pernah diingatkan buat potong rambut. Tapi mas Yuda nya cuma senyum doang trus bilang kalau Rasul dan Sahabat juga gondrong kok. Jadi ndak papa biar mas mirip mereka cuma gondrongnya.'  Ya sudah, rara ndak mau maksa. Ntar kalau sudah bosan pasti dipotong sendiri, Pak. Ndak usah disuruh-suruh.. ". Kataku sambil membolak-balikkan sebuah majalah 'masak' mencari menu masakan yang cocok untuk malam ini.
Bapak hanya diam mendengar penjelasanku tapi wajahnya seolah memancarkan aura kekecewaan. Aku tahu bapak tak begitu menyukai suamiku karena penampilannya. Rambut gondrongnya membuat bapakku illfeel. Menurut bapak, tampang suamiku mirip preman yang image-nya sudah tentu tidak baik. Apalagi sebelum menikah saat main ke rumah, suamiku suka memakai celana jeans yang sobek di bagian lututnya ditambah dengan rambutnya yang gondrong, persis preman pasar yang lagi malakin orang. Melihatnya bapakku menggeleng-gelengkan kepala. Tapi walau begitu, bapak juga tak bisa memungkiri kalau sebenarnya mas Yuda adalah pria yang hebat dan bertanggung jawab.Kedua alasan inilah yang akhirnya meluluhkan bapak sampai aku bisa mendapatkan restunya. Sementara ibu, sejak awal sudah menyerahkan semua keputusan padaku. Karna ibu percaya, aku mampu menentukan yang terbaik untuk masa depan dan hidupku.
Aku masih ingat kata-kata ibu waktu itu, saat bapak menyudutkanku dengan membanding-bandingkan mas Yuda dan mas Hari tetangga sekaligus anak temannya bapak.
" Kalau ibu lihat Yuda itu anak yang baik, walau tampang dan penampilannya ndak rapih kayak si Hari anak teman bapakmu itu. Tapi dia bertanggung jawab, berani, dewasa, bijaksana, santun sama orang tua dan sayang sama keluarganya. Kurang apa lagi coba? Ndak usah kecil hati karna omongan bapakmu, nanti juga luluh sendiri. Percaya deh sama ibu..." kata ibu sambil tersenyum kecil dan mengusap kepalaku. Kalimatnya sungguh menentramkan hati.
Oh ibu,..kau memang sangat mengerti. Kata-katamu bagai oase di padang pasir yang gersang dan tandus. Mengobati hatiku yang kering akibat diterpa badai kata dari lisan bapak. Hingga aku pun semakin yakin untuk melangkah dan menerima lamaran mas Yuda. Kata-kata ibu sungguh menjadi support luar biasa.
Benar saja, semakin hari bapakku semakin luluh ( tapi tetap aja illfeel kalau liat rambut gondrongnya mas Yuda, hehe.. ) melihat usaha dan keseriusan mas Yuda serta tutur katanya yang sangat bijak ketika bapak mengajaknya berbincang - bincang saat mas Yuda mampir ke rumah. Biasanya kalau mas Yuda datang, aku hanya di kamar sibuk dengan urusanku sendiri dan membiarkannya bersama bapak, biar tambah akrab pikirku. Lagian kan ndak boleh berdua-duaan kalau belum menikah. Ntar orang ketiganya setan, hehe. Piss...
¤  ¤  ¤

Hari bahagia itupun datang. Aku menikah dengan mas Yuda pada hari Ahad, 12 Desember 2012. Saat itu, semua keluarga besar datang dan berkumpul bersama merayakan hari yang paling indah dalam hidupku. Namun betapa terkejutnya aku saat melihat rombongan pengantin pria datang tapi aku tak melihat mas Yuda di antara iringan pengantin itu.
Tiba-tiba muncul sesosok pria tampan berkulit putih dengan kumis tipisnya yang gagah dipadukan dengan blankon di atas kepalanya serta pakaian yang ia kenakan, mirip putra kraton yang begitu gagah. Lama aku menatap sosok itu ( terpesona niyeee ) sambil mencari-cari sosok mas Yuda di balik rombongan pengantin. Namun aku tak menemukan sosok gondrong yang ku kenal. Akupun mulai khawatir. Ada apa ini? Kemana mas Yuda? Kenapa yang datang lelaki itu? Sosok yang baru kulihat, asing. Ahh...tubuhku lemas. Jantungku berdetak semakin cepat, memacu aliran darah. Denyut nadipun tak stabil saat pria itu tiba-tiba datang lalu duduk di sampingku menghadap pak penghulu.
Oh, Tuhan...apa yang sedang terjadi? Apakah bapak membatalkan pernikahanku dengan mas Yuda lalu menikahkanku dengan pria ini tanpa aku ketahui? Batinku bertanya-tanya.Dengan sangat hati-hati, pria itu mendekatkan wajahnya ke telingaku ( aku semakin takut, tubuhku bergetar ) lalu berbisik, " Dek...ini mas. Mas Yuda, calon suamimu ", ia menatapku dan tersenyum.
Aku terkejut seolah tak percaya bahwa pria yang duduk di sebelahku itu adalah mas Yuda, pria gondrong yang kucari-cari. Penampilannya sangat berbeda, membuat orang-orang terpukau melìhatnya. Betapa tidak, rambut gondrongnya tiba-tiba saja menghilang. Kumisnya yang tebal dan panjang kini jadi tipis. Sangat tampan. Sungguh berbeda dengan mas Yuda yang kukenal sebelumnya. Aku melihat bapak sedang tersenyum melihat mas Yuda. Tampaknya bapak senang sekali dengan penampilan mas Yuda hari itu.
" Ya Allah...terimakasih karena hari ini semua orang bisa tersenyum di hari bahagiaku ", batinku berbisik penuh syukur.
Aku hanya tertunduk malu setelah tau siapa pria itu sembari tersenyum. Aku lega namun tak berani menatapnya lagi. " Ghozul bashor, Ra...ghozhul bashor! Akadnya belum dimulai. Ndak boleh pandang mas Yuda lama-lama. " hehee… Seolah ada bisikan kecil di telingaku. Weleh-weleh sambil geleng-geleng dalam hati.
Tak berapa lama kemudian, akadpun dimulai. Alhamdulillah semuanya lancar. Akhirnya, ia menjadi yang halal untukku. Terimakasih ya, Robbii... Akupun tersenyum lega.

¤ ¤ ¤

Bapak melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti tadi. " Ya, bukan apa-apa nduk... Bapak cuma ndak mau orang-orang ngatain suamimu macem-macem. Kuping bapak suka ndak tahan. Suamimu dikatain preman, mirip perampok trus ada juga yang bilang mirip pembunuh berdarah dingin dengan tampangnya yang ndak bersahabat itu. Lah itu kenapa coba? Ya karna rambutnya yang gondrong itu. Bapak pikir waktu kalian menikah dulu, dia bener-bener motong rambutnya. Ehh...ndak taunya cuma dimasukin di dalam blankon. Gembleng!! ". Bapak tampak kesal.
Tapi apa yang dikatakan bapak benar. Aku juga sempat kecewa saat usai resepsi pernikahan kami. Saat suamiku melepas blankon, ternyata rambutnya masih gondrong. Ia hanya melipat rambutnya lalu disembunyikan di dalam blankon yang ia kenakan. Aku kaget sementara suamiku hanya cengengesan melihat ekspresiku.
" Hehe...maaf ya sayang. Mas belum bisa motongin nih rambut. Sayang kalau dipotong, kan susah manjanginnya. Ndak papa yah...", katanya melihat wajahku yang tampak protes dengan ulahnya.
" Sayang mana, rambut atau istri ?", tanyaku.
" Ya sayang dua-duanya dong. Mas ndak bisa ninggalin salah satunya. Hehehe ", suamiku tertawa kecil. Ia tahu aku rada sebel dibohongin. Tapi apa daya aku juga tak bisa memaksa.
¤  ¤  ¤

Aku melanjutkan pembicaraanku dengan bapak.
" Ya sudah...kalau begitu, bapak ndak usah dengerin kata-kata orang. Yang penting bapak tau kalau mas Yuda itu orangnya gimana. Selama ini, mas Yuda baik-baik saja. Walau tampangnya kayak preman begitu tapi hatinya mirip ustadz loh pak. Hatinya mas Yuda itu mulia hanya saja tertutupi dengan penampilannya yang ndak karuan itu", jelasku. Aku mencoba membuka pikiran bapak agar ia tidak menilai orang dari luarnya saja. Sekaligus menjelaskan bahwa suamiku tidak seperti yang orang tuduhkan.
" Kamu ini, ngebelain suamimu terus ", cetus bapak.
" Bukannya ngebelain pak, tapi memang kenyataannya mas Yuda itu baik. Iya ta, Pak ? ", aku melontarkan pertanyaan pada bapakku.
" Sudah-sudah, ndak usah ribut. Sing penting si Yuda itu sayang sama putri kita. Selama ini dia juga ndak pernah melakukan kesalahan. Bahkan walau dia tau bapak ndak begitu suka padanya, dia masih tetap santun dan sangat menghargai bapak. Dia memperlakukan kita seperti orang tuanya sendiri. Trus ibu liat sholatnya juga rajin, ndak pernah tinggal. Selalu tepat waktu. Malah bapak yang sering molor waktu sholatnya. Kurang apa lagi ta, Pak." Ibu tampak membela suamiku.
Sementara aku hanya tersenyum manis melihat ibu begitu antusias. Hmm, maaf ya pak. Bukan ingin menyudutkan bapak tapi suamiku memang pria yang baik. Suatu saat, bapak akan mengakuinya secara De Facto and De Jure. Hehe . . .aya aya wae.
¤  ¤  ¤

Tiga minggu berlalu. Tak terasa aku sudah melewati hari-hariku tanpa suami. Walau kadang merasa sepi, syukurlah ada ibu yang menemani. Hari itu jadwal suamiku pulang. Aku sudah sia-siap sejak seusai sholat subuh. Aku ingin menyambutnya dengan penampilan terbaik. Gamis hijau lumut dipadukan dengan jilbab senada yang lebih muda dihiasi bross cantik pemberian suamiku tercinta melengkapi penampilanku hari itu. Pesawatnya akan mendarat di bandara pukul 09.00 wib. Ayah dan ibuku tampak sudah siap. Kamipun bergegas keluar rumah. Aku sudah tak sabar menyambut kepulangannya. Namun saat mengunci pintu HP-ku berdering. Ada sms masuk from My Husband. Akupun membaca SMS-nya dan tiba-tiba saja tubuhku bergetar, lemas tak sanggup berdiri. HP-ku terjatuh di lantai sehabis membuka SMS-nya.
" Assalamu'alaykum. Rara sayang, mas sudah sampai di Purwokerto. Kemarin tiba di Bandara pukul 06.00 wib. Mendadak ada perubahan. Maaf mas ndak sempat kasih kabar. Jadi Rara ndak usah jemput ke Bandara, mas sekarang ada di rumah sakit 'Cermin Berembun' di ruang rawat inap. Tapi rara ndak usah khawatir, mas ndak kenapa-kenapa. Cepat ke sini ya, sayang. Mas kangen...".
Deg...jantungku tak karuan. Rasa khawatirku memuncak. Apa yang terjadi pada suamiku ya, Robb? Mengapa tiba-tiba ia di rumah sakit? Mengetahui hal itu, bapak dan ibu langsung membawaku ke mobil. Kamipun berangkat menuju rumah sakit. Setiba di sana, aku melihat suamiku sedang tertidur di atas ranjang berukuran 6 kaki di salah satu ruang rumah sakit. Tampak seorang dokter habis memeriksa kondisinya.
" Ada apa dengan suami saya, Dok? Kenapa dia sampai dirawat di sini? Gimana kondisinya? Baik-baik sajakan, Dok? ", tanyaku bertubi-tubi pada sang Dokter.
Sepertinya ia tahu kalau aku begitu mengkhawatirkan kondisi suamiku. " Ohw, jadi ibu istrinya? Tenang saja, suami ibu tidak apa-apa. Dia pria yang kuat dan hebat. Pak Yuda hanya butuh istirahat sebentar karna mungkin masih lemas sehabis di operasi ", jawab Dokter itu tenang.
" Apa? Operasi? ", tanyaku terkejut.
Melihat ekspresiku yang panik, dokter itu tersenyum lalu membawaku bersama ibu dan bapak ke ruangannya untuk menjelaskan apa yang terjadi pada suamiku. Setelah mendengar penjelasan dokter, aku dan ibu hanya berpandangan sembari tersenyum dengan tetesan air mata bahagia. Ternyata suamiku baru saja mendonorkan satu ginjalnya untuk seorang lelaki yang sakit parah. Lelaki itu tidak lain adalah mas Hari, anak teman bapakku. Sudah lama keluarganya mencari pendonor tapi tidak ada yang cocok sementara kondisinya semakin parah. Sampai akhirnya suamiku melihatnya pingsan di jalan ketika masih di Jakarta, mungkin sedang mencari donor ginjal. Dan setelah sadar Mas Hari menceritakan semuanya pada suamiku, sehingga suamiku memutuskan untuk mendonorkan satu ginjalnya dan membawa Mas Hari pulang ke Purwokerto untuk dioperasi.
" Mas ndak tega liat istrinya nangis terus karena kondisi suaminya yang makin memprihatinkan. Mas jadi ingat rara yang sedih waktu mas sakit dulu. Apalagi liat  anaknya yang masih kecil. Kasian kalau ditinggal bapaknya. Makanya mas kasih satu ginjal yang mas punya. Kan masih ada satu lagi. Ndak papa ya, sayang...." suamiku menjelaskan perihal keberadaannya di rumah sakit.
" Iya, ndak papa...rara ndak marah. Justru rara bangga punya suami kayak mas. Mas Yuda hebat. " jawabku pelan sambil tersenyum dan menggenggam tangannya, erat. Akupun mencium kening suamiku lama. Melepas kerinduan di hati. Ya Allah...terimakasih banyak. Engkau anugerahkan seorang suami berhati mulia padaku. Tak henti-henti aku bersyukur. Sejak saat itulah bapakku kembali luluh. Kali ini luluh untuk selamanya. Suamiku pun menjadi menantu kebanggaan bapak.
Ada banyak hal yang kadang membuat kita miris melihat sesuatu yang kita anggap buruk. Tapi ternyata di balik itu semua begitu banyak mutiara berharga yang tak mampu kita miliki tersimpan di dalamnya. Apa yang terlihat buruk oleh mata kita tak selamanya buruk di mata Allah. Karna yang membedakan kita di hadapanNya hanya Taqwa dan iman di hati.
            “ Uhibbuka fillah, Mas….”, ucapku sedalam dasar lautan namun bermakna setinggi langit.

2 komentar :