Senin, 17 Agustus 2015

Ketika Kita YAKIN Maka ALLAH Tidak Akan Ragu



Apa-apa yang telah Allah tetapkan adalah hak preogatif Allah. Termasuk rezeki, jodoh bahkan maut. Maka tidak ada seorang pun dapat menggugat ketika hak itu sudah Allah pakai dalam menetapkan suatu keputusan.

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah perjalanan pulang seorang kakak pernah bekata, “ Jodoh dan rezeki itu sama. Sama-sama sudah Allah tentukan jalannya. Sama-sama sudah Allah tetapkan prosesnya. Tinggal bagaimana kita menerima dan menyikapinya. Maka ketika sesuatu sudah Allah tetapkan untuk kita, maka Allah lah yang bertanggung jawab atas apa yang Allah tetapkan tersebut. Allah lah yang bertanggung jawab penuh atas apa yang akan terjadi pada diri kita... Jadi, kita tidak perlu merisaukan apa yang belum terjadi. Tidak perlu khawatir atas sulitnya masalah yang kita hadapi, serahkan saja semuanya pada Allah, Allah pasti membantu menyelesaikannya...”

Kalimat itu terus terekam dalam ingatan saya. Entah kenapa rasanya saya begitu menyukainya, kalimat itu membuat saya akhirnya benar-benar yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.

“ Artinya, jika semua itu sudah Allah jamin maka Allah pasti bertanggung jawab atas apa yang dijamin-Nya. Kita tidak usah terlalu khawatir, misal khawatir atas rezeki yang hari ini begitu sedikit atau khawatir karena punya masalah dan tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Jika sesuatu yang tadinya menjadi tanggung jawab Allah trus kita ambil alih memikirkannya, seolah kita mengambil alih tanggung jawab Allah. Kalau sudah kita ambil ya berarti kitalah yang akan menyelesaikannya sendiri, bukan Allah.  Sehingga kita akan kesulitan untuk menyelesaikannya. Jadi, kita harus percaya pada Allah...Biar jadi tanggung jawab Allah saja.” lanjutnya lagi.

Saya masih menyimak dengan baik kalimat-kalimat yang diucapkannya. Kalimat yang katanya ia dapat dari seorang Ustadz itu melekat terus dalam hati.

Terkadang bahkan memang seringkali kita seolah meragukan kekuasaan Allah dengan merasa khawatir atas rezeki hari ini, padahal Allah sudah menjamin rezeki setiap hamba, baik manusia maupun hewan melata. Bahkan semut yang kecil sekali pun sudah dijamin rezekinya dan burung yang terbang pagi hari selalu pulang ke sarang dengan perut terisi sebagai rezeki yang dijamin Allah.

Kita khawatir atas masalah dan ujian yang menimpa saat ini dan takut kalau-kalau kita tidak mendapatkan solusi atas permasalahan yang sedang kita hadapi. Padahal kita tahu bahwa bersama setiap kesulitan, pasti ada kemudahan menyertainya. Bahkan kita pun hafal ayat yang menerangkannya. Namun tanpa sadar, kita seolah meragukan Allah, meragukan apa-apa yang sudah Allah jamin.

Percayalah, Allah bertanggung jawab penuh atas diri kita. Atas hidup dan mati kita. Jika Allah sudah bertanggung jawab, maka yakinlah karena sesungguhnya Allah tidak pernah menyalahi janji.

Inilah yang terjadi pada saya seminggu setelah perjalanan itu. Saat itu saya tidak meiliki uang sama sekali, sedangkan gajian  masih lama dan  saya harus membeli kado untuk acara tukaran kado yang sudah disepakati oleh seluruh teman-teman ngaji. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa cinta pada saudara berdasarkan hadits ini, “Dari Anas bahwa, “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati.” (HR.Thabrani)

Saya merasa bingung sekali darimana akan mendapatkan uang sedang gajian masih sangat lama dan hari H tinggal 2 hari. Seketika itu, saat saya lagi pusing-pusingnya bagaimana cara mendapatkan uang, saya teringat pada setiap kalimat yang diucapkan sang kakak saat di perjalanan kemarin. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak bersedih dan terlalu khawatir. Saya menyerahkan urusan ini pada Allah dengan segenap keyakinan bahwa Allah pasti beri jalan. Jika rezeki saya masih di langit, bukankah Allah yang menguasai langit? Allah pasti menurunkannya untuk saya,” itu yang terbesit di hati kemudian.

Alhamdulillah, sorenya saya mendapat pesan SMS dari seorang ummahat untuk menjaga anaknya sebab beliau dan suami akan pergi ke bandara untuk mengantar saudaranya pulang. Dan keesokannya, saat beliau sudah kembali ternyata beliau memberikan sesuatu yang bisa dipakai untuk beli kado bahkan lebih. Tadinya saya ingin menolaknya, tapi saya rasa ini jalan rezeki yang sudah Allah jamin itu sehingga saya menerimanya dan proses saling tukar hadiah itu pun terlaksana. Allah benar-benar telah mengajarkan arti yakin tentang jaminan rezeki-Nya pada saya. Kini saya memiliki keyakinan bahwa ketika kita benar-benar yakin, maka Allah pun tidak akan ragu untuk memberi pertolongan-Nya.

Selasa, 11 Agustus 2015

Sampai Aku Mengerti



Aku sedang dalam proses pencarian? Pencarian apa? Aku bahkan tidak kehilangan apa-apa. Lalu apa yang sedang kucari? Entahlah, Lii. Aku bahkan tidak tahu apa yang kutunggu. Aku menunggu padahal tak ada yang pernah membuat janji. Aku hanya ingin sendiri.
Setidaknya sampai aku mengerti, mengapa menunggu tak harus berjanji atau berjanji untuk tidak menunggu.

Malam melarut hingga pagi. Aku rindu pada masa-masa seperti ini. Larut dalam tulisan yang lebih berupa “entah apa”. Hanya sebuah coretan yang bahkan aku sendiri belum menemukan maknanya. Aku berbagi pada sepi yang menghuni hati. Menjadikannya teman cerita sampai aku lupa bahwa mata ini pun boleh menuntut haknya.


Sabtu, 08 Agustus 2015

Aku, Kau dan Syurga-Nya



Rindu adalah jarak dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya. Di mana intensitas pertemuan tersekat oleh waktu yang mengharuskan kita menunggu untuk bisa bertemu lagi pada hari yang tentu tidak sama lagi seperti kemarin. Sedang pertemuan yang lalu selalu menjadi memori pengikat hati antara aku dan kau yang sekarang entah di mana. Dan pertemuan berikutnya adalah obat bagi rindu-rindu yang akut.

Bertanya kabar lewat udara pun tak lagi bisa. Kita benar-benar tersekat jarak, waktu dan kabar. Kau menghilang, namun dalam bayang selalu terkenang. Baru sehari kita bersua suara, baru sehari kita bertaut cerita, baru sehari kita bisa saling melepas pelukan  meski hanya lewat pesan udara dan baru sehari kita duduk bersama dalam ruang yang berbeda nama. Setelah sekian juta detik berputar dalam kurun waktu yang menahun, menahan sebuah pertemuan.

Ini adalah hari keenam keberadaanmu di sini, seharusnya. Ini juga hari kelima pasca pertemuan kita enam hari yang lalu, kalau saja pertemuan itu terjadi. Namun sampai hari ini tak ada kabar yang kudengar. Tidak juga suara deringan ponsel yang menandakan panggilan atau pesan masuk bertuliskan namamu. Tidak. Tidak ada sama sekali. Bahkan semua nomormu tidak dapat dihubungi. Semuanya di luar jangkauan, di luar perkiraan. Tidak dapat dihubungi. Aku seperti kehilangan jejak kaki pada sebuah jalan tak bertuan. Sedang rumah bagi rindu kita ada di sana, di ujung jalan itu.

“ Ukhti......”

“ Ya,” sahutku. Saat tiba-tiba kau memanggilku setelah berhenti sejenak dari cerita panjang yang sudah memakan waktu dua jam lebih. Lewat telepon genggam yang mungkin sudah demam karena suhu tubuhnya meningkat akibat terlalu lama dipakai pemiliknya.

“ Ukhti tahu tidak, selama ini ana selalu merindukan ukhti. Dalam setiap do’a, ana menyelipkan nama ukhti agar hati kita selalu terpaut dalam bingkai ukhuwah dan cinta karena Allah. Meskipun jarak memisahkan raga namun jarak tidak akan bisa memisahkan nama ukhti dari bait doa yang ana punya. Berharap agar Allah selalu mengistiqomahkan kita dan menjaga kita dalam hidayah-Nya. Karna ana yakin, doa adalah penguat ikatan di hati kita, meski bertahun-tahun lamanya kita tak bersua. Dan ana pun percaya, ukhti juga selalu mendoakan ana. Sebab di hati ini terasa bahwa ukhti selalu ada, ukhti dekat dan tidak kemana-mana.” Katamu dengan suara yang mengalir. Membuat airmataku juga turut serta dengan alirannya.

Aku terdiam sejenak. Memberi jeda bagi hati yang sebenarnya sedikit perih setelah mendengarkan apa yang kau ungkapkan barusan. Bukan karena terluka dengan kata-katamu, tidak. Sungguh, bukan itu. Aku hanya merasa berdosa, karena beberapa bulan yang lalu aku merasa ditinggalkan. Ditinggal oleh semua saudara yang dulu terikat dalam bingkai persaudaraan yang indah. Aku sempat tidak percaya lagi dengan sesuatu bernama ukhuwah. Aku merasa kehilangan hangatnya mentari yang kita nikmati kemarin, saat kita duduk di bawah rindangnya pohon di tengah hari yang cerah sambil disapa angin yang ramah. Merasa sendiri. Meski aku tahu, Allah tak pernah membiarkan hambanya sendiri. Merasa sendiri adalah satu keadaan yang paling menyakitkan. Kerinduan yang begitu dalam pada saudara seperjuangan di masa lalu, membuatku amnesia dari cara berpikir positif.

“ Ana sangat ingat dengan hadits yang mengatakan bahwa kita akan bersama dengan yang kita cintai di syurga nanti. Beberapa waktu yang lalu ana mimpi ketemu Ukhti. Ana berharap hadits ini berlaku untuk kita, untuk cinta yang terjalin karena ukhuwah di jalan Allah ini. Ana sangat berharap kelak kita berdua bertemu di syurga karena hadits ini. Entah kenapa ana merasa Ukhti selalu dekat meski jarak kita sekarang jauh sekali bahkan pernah beberapa tahun hilang komunikasi. Ana merasa do’a ukhti menyentuh perasaan ana dan ana pun selalu berdo’a agar Allah tetap menjaga kita berdua sehingga kita selalu saling mendoakan. Ana benar-benar rindu...”

Oh, Tuhan... Semakin sesak saja rasanya mendengar kalimat yang keluar dari lisannya. Sesak karena merasa berdosa pernah su’uzhon padanya, pernah merasa diabaikan, pernah merasa dilupakan. Aku sadar aku begitu bodoh, membiarkan setan menari dalam pikiran yang sudah  mengidap rindu sedemikian akut. Benarlah yang Engkau katakan, “ Sesungguhnya sebagian prasangka itu tidak baik....”. Hari ini Engkau membuktikan bahwa jika tidak bisa berprasangka baik, maka jangan pernah berprasangka buruk karena prasangka buruk tidak mengandung kebaikan sedikit pun. Hanya menjadi penyakit bagi pelakunya.
Walau begitu, walau aku selalu merasa terlupakan oleh teman-teman seperjuangan kita dahulu dan juga merasa dilupakan olehmu, namun aku tetap saja berdoa agar Allah memanggilmu, lalu membisikkan sebuah nama yang di sini selalu merindu, aku. Dan kini doa-doa kita dipertemukan oleh-Nya. Maaf karena pernah berprasangka padamu, Ukhti. Ampuni hamba-Mu ini Rabbii...

Terimakasih Allah, terimakasih Ukhti. Aku, kau dan syurga-Nya semoga menjadi nyata. Uhibbuki fillah...