Selasa, 15 September 2015

Hujan Malam Bulan Juni


tak luput kusebut
satu nama dalam do’a
tak lelah kutadah
satu jiwa perindu syurga
tak henti kunanti
satu hati untuk kumiliki

kau kah yang mengirim kabar
pada hujan malam bulan juni
untuk mencari pena di laci lemari
agar aku kembali menulis puisi
ya, untukmu
seseorang bernama “fulan bin fulan”
dalam tabir yang masih misteri

aku, seseorang yang tak seberapa
mengumpulkan puing kesekian
dari remah-remah langit
menyimpulnya menjadi vas bunga
menunggu hari berpihak
lalu membawamu untuk meletakkan
sekuntum mawar di atasnya


Senin, 17 Agustus 2015

Ketika Kita YAKIN Maka ALLAH Tidak Akan Ragu



Apa-apa yang telah Allah tetapkan adalah hak preogatif Allah. Termasuk rezeki, jodoh bahkan maut. Maka tidak ada seorang pun dapat menggugat ketika hak itu sudah Allah pakai dalam menetapkan suatu keputusan.

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah perjalanan pulang seorang kakak pernah bekata, “ Jodoh dan rezeki itu sama. Sama-sama sudah Allah tentukan jalannya. Sama-sama sudah Allah tetapkan prosesnya. Tinggal bagaimana kita menerima dan menyikapinya. Maka ketika sesuatu sudah Allah tetapkan untuk kita, maka Allah lah yang bertanggung jawab atas apa yang Allah tetapkan tersebut. Allah lah yang bertanggung jawab penuh atas apa yang akan terjadi pada diri kita... Jadi, kita tidak perlu merisaukan apa yang belum terjadi. Tidak perlu khawatir atas sulitnya masalah yang kita hadapi, serahkan saja semuanya pada Allah, Allah pasti membantu menyelesaikannya...”

Kalimat itu terus terekam dalam ingatan saya. Entah kenapa rasanya saya begitu menyukainya, kalimat itu membuat saya akhirnya benar-benar yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.

“ Artinya, jika semua itu sudah Allah jamin maka Allah pasti bertanggung jawab atas apa yang dijamin-Nya. Kita tidak usah terlalu khawatir, misal khawatir atas rezeki yang hari ini begitu sedikit atau khawatir karena punya masalah dan tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Jika sesuatu yang tadinya menjadi tanggung jawab Allah trus kita ambil alih memikirkannya, seolah kita mengambil alih tanggung jawab Allah. Kalau sudah kita ambil ya berarti kitalah yang akan menyelesaikannya sendiri, bukan Allah.  Sehingga kita akan kesulitan untuk menyelesaikannya. Jadi, kita harus percaya pada Allah...Biar jadi tanggung jawab Allah saja.” lanjutnya lagi.

Saya masih menyimak dengan baik kalimat-kalimat yang diucapkannya. Kalimat yang katanya ia dapat dari seorang Ustadz itu melekat terus dalam hati.

Terkadang bahkan memang seringkali kita seolah meragukan kekuasaan Allah dengan merasa khawatir atas rezeki hari ini, padahal Allah sudah menjamin rezeki setiap hamba, baik manusia maupun hewan melata. Bahkan semut yang kecil sekali pun sudah dijamin rezekinya dan burung yang terbang pagi hari selalu pulang ke sarang dengan perut terisi sebagai rezeki yang dijamin Allah.

Kita khawatir atas masalah dan ujian yang menimpa saat ini dan takut kalau-kalau kita tidak mendapatkan solusi atas permasalahan yang sedang kita hadapi. Padahal kita tahu bahwa bersama setiap kesulitan, pasti ada kemudahan menyertainya. Bahkan kita pun hafal ayat yang menerangkannya. Namun tanpa sadar, kita seolah meragukan Allah, meragukan apa-apa yang sudah Allah jamin.

Percayalah, Allah bertanggung jawab penuh atas diri kita. Atas hidup dan mati kita. Jika Allah sudah bertanggung jawab, maka yakinlah karena sesungguhnya Allah tidak pernah menyalahi janji.

Inilah yang terjadi pada saya seminggu setelah perjalanan itu. Saat itu saya tidak meiliki uang sama sekali, sedangkan gajian  masih lama dan  saya harus membeli kado untuk acara tukaran kado yang sudah disepakati oleh seluruh teman-teman ngaji. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa cinta pada saudara berdasarkan hadits ini, “Dari Anas bahwa, “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati.” (HR.Thabrani)

Saya merasa bingung sekali darimana akan mendapatkan uang sedang gajian masih sangat lama dan hari H tinggal 2 hari. Seketika itu, saat saya lagi pusing-pusingnya bagaimana cara mendapatkan uang, saya teringat pada setiap kalimat yang diucapkan sang kakak saat di perjalanan kemarin. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak bersedih dan terlalu khawatir. Saya menyerahkan urusan ini pada Allah dengan segenap keyakinan bahwa Allah pasti beri jalan. Jika rezeki saya masih di langit, bukankah Allah yang menguasai langit? Allah pasti menurunkannya untuk saya,” itu yang terbesit di hati kemudian.

Alhamdulillah, sorenya saya mendapat pesan SMS dari seorang ummahat untuk menjaga anaknya sebab beliau dan suami akan pergi ke bandara untuk mengantar saudaranya pulang. Dan keesokannya, saat beliau sudah kembali ternyata beliau memberikan sesuatu yang bisa dipakai untuk beli kado bahkan lebih. Tadinya saya ingin menolaknya, tapi saya rasa ini jalan rezeki yang sudah Allah jamin itu sehingga saya menerimanya dan proses saling tukar hadiah itu pun terlaksana. Allah benar-benar telah mengajarkan arti yakin tentang jaminan rezeki-Nya pada saya. Kini saya memiliki keyakinan bahwa ketika kita benar-benar yakin, maka Allah pun tidak akan ragu untuk memberi pertolongan-Nya.

Selasa, 11 Agustus 2015

Sampai Aku Mengerti



Aku sedang dalam proses pencarian? Pencarian apa? Aku bahkan tidak kehilangan apa-apa. Lalu apa yang sedang kucari? Entahlah, Lii. Aku bahkan tidak tahu apa yang kutunggu. Aku menunggu padahal tak ada yang pernah membuat janji. Aku hanya ingin sendiri.
Setidaknya sampai aku mengerti, mengapa menunggu tak harus berjanji atau berjanji untuk tidak menunggu.

Malam melarut hingga pagi. Aku rindu pada masa-masa seperti ini. Larut dalam tulisan yang lebih berupa “entah apa”. Hanya sebuah coretan yang bahkan aku sendiri belum menemukan maknanya. Aku berbagi pada sepi yang menghuni hati. Menjadikannya teman cerita sampai aku lupa bahwa mata ini pun boleh menuntut haknya.


Sabtu, 08 Agustus 2015

Aku, Kau dan Syurga-Nya



Rindu adalah jarak dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya. Di mana intensitas pertemuan tersekat oleh waktu yang mengharuskan kita menunggu untuk bisa bertemu lagi pada hari yang tentu tidak sama lagi seperti kemarin. Sedang pertemuan yang lalu selalu menjadi memori pengikat hati antara aku dan kau yang sekarang entah di mana. Dan pertemuan berikutnya adalah obat bagi rindu-rindu yang akut.

Bertanya kabar lewat udara pun tak lagi bisa. Kita benar-benar tersekat jarak, waktu dan kabar. Kau menghilang, namun dalam bayang selalu terkenang. Baru sehari kita bersua suara, baru sehari kita bertaut cerita, baru sehari kita bisa saling melepas pelukan  meski hanya lewat pesan udara dan baru sehari kita duduk bersama dalam ruang yang berbeda nama. Setelah sekian juta detik berputar dalam kurun waktu yang menahun, menahan sebuah pertemuan.

Ini adalah hari keenam keberadaanmu di sini, seharusnya. Ini juga hari kelima pasca pertemuan kita enam hari yang lalu, kalau saja pertemuan itu terjadi. Namun sampai hari ini tak ada kabar yang kudengar. Tidak juga suara deringan ponsel yang menandakan panggilan atau pesan masuk bertuliskan namamu. Tidak. Tidak ada sama sekali. Bahkan semua nomormu tidak dapat dihubungi. Semuanya di luar jangkauan, di luar perkiraan. Tidak dapat dihubungi. Aku seperti kehilangan jejak kaki pada sebuah jalan tak bertuan. Sedang rumah bagi rindu kita ada di sana, di ujung jalan itu.

“ Ukhti......”

“ Ya,” sahutku. Saat tiba-tiba kau memanggilku setelah berhenti sejenak dari cerita panjang yang sudah memakan waktu dua jam lebih. Lewat telepon genggam yang mungkin sudah demam karena suhu tubuhnya meningkat akibat terlalu lama dipakai pemiliknya.

“ Ukhti tahu tidak, selama ini ana selalu merindukan ukhti. Dalam setiap do’a, ana menyelipkan nama ukhti agar hati kita selalu terpaut dalam bingkai ukhuwah dan cinta karena Allah. Meskipun jarak memisahkan raga namun jarak tidak akan bisa memisahkan nama ukhti dari bait doa yang ana punya. Berharap agar Allah selalu mengistiqomahkan kita dan menjaga kita dalam hidayah-Nya. Karna ana yakin, doa adalah penguat ikatan di hati kita, meski bertahun-tahun lamanya kita tak bersua. Dan ana pun percaya, ukhti juga selalu mendoakan ana. Sebab di hati ini terasa bahwa ukhti selalu ada, ukhti dekat dan tidak kemana-mana.” Katamu dengan suara yang mengalir. Membuat airmataku juga turut serta dengan alirannya.

Aku terdiam sejenak. Memberi jeda bagi hati yang sebenarnya sedikit perih setelah mendengarkan apa yang kau ungkapkan barusan. Bukan karena terluka dengan kata-katamu, tidak. Sungguh, bukan itu. Aku hanya merasa berdosa, karena beberapa bulan yang lalu aku merasa ditinggalkan. Ditinggal oleh semua saudara yang dulu terikat dalam bingkai persaudaraan yang indah. Aku sempat tidak percaya lagi dengan sesuatu bernama ukhuwah. Aku merasa kehilangan hangatnya mentari yang kita nikmati kemarin, saat kita duduk di bawah rindangnya pohon di tengah hari yang cerah sambil disapa angin yang ramah. Merasa sendiri. Meski aku tahu, Allah tak pernah membiarkan hambanya sendiri. Merasa sendiri adalah satu keadaan yang paling menyakitkan. Kerinduan yang begitu dalam pada saudara seperjuangan di masa lalu, membuatku amnesia dari cara berpikir positif.

“ Ana sangat ingat dengan hadits yang mengatakan bahwa kita akan bersama dengan yang kita cintai di syurga nanti. Beberapa waktu yang lalu ana mimpi ketemu Ukhti. Ana berharap hadits ini berlaku untuk kita, untuk cinta yang terjalin karena ukhuwah di jalan Allah ini. Ana sangat berharap kelak kita berdua bertemu di syurga karena hadits ini. Entah kenapa ana merasa Ukhti selalu dekat meski jarak kita sekarang jauh sekali bahkan pernah beberapa tahun hilang komunikasi. Ana merasa do’a ukhti menyentuh perasaan ana dan ana pun selalu berdo’a agar Allah tetap menjaga kita berdua sehingga kita selalu saling mendoakan. Ana benar-benar rindu...”

Oh, Tuhan... Semakin sesak saja rasanya mendengar kalimat yang keluar dari lisannya. Sesak karena merasa berdosa pernah su’uzhon padanya, pernah merasa diabaikan, pernah merasa dilupakan. Aku sadar aku begitu bodoh, membiarkan setan menari dalam pikiran yang sudah  mengidap rindu sedemikian akut. Benarlah yang Engkau katakan, “ Sesungguhnya sebagian prasangka itu tidak baik....”. Hari ini Engkau membuktikan bahwa jika tidak bisa berprasangka baik, maka jangan pernah berprasangka buruk karena prasangka buruk tidak mengandung kebaikan sedikit pun. Hanya menjadi penyakit bagi pelakunya.
Walau begitu, walau aku selalu merasa terlupakan oleh teman-teman seperjuangan kita dahulu dan juga merasa dilupakan olehmu, namun aku tetap saja berdoa agar Allah memanggilmu, lalu membisikkan sebuah nama yang di sini selalu merindu, aku. Dan kini doa-doa kita dipertemukan oleh-Nya. Maaf karena pernah berprasangka padamu, Ukhti. Ampuni hamba-Mu ini Rabbii...

Terimakasih Allah, terimakasih Ukhti. Aku, kau dan syurga-Nya semoga menjadi nyata. Uhibbuki fillah...

Kamis, 10 Juli 2014

Kakak, Temani Aku Mengumpulkan Peluru


Melihat foto-foto anak-anak Palestina yang hangus terbakar dan hancur diledakkan oleh bom Yahudi Israel (La’natullah ‘alaihim), hati ini terasa sakit dan dada tiba-tiba terasa sesak. Seolah foto itu berbicara kepadaku, seolah foto-foto itu bercerita banyak hal tentang apa yang mereka (adik-adik kecil) rasakan dan alami di negerinya. Sehingga telinga ini seolah ikut mendengar dentuman rudal dan ledakan bom yang bersahut-sahutan.
Mereka bercerita padaku...

Kakak... kakak sedang apa? Aku dan teman-temanku sedang bermain petak umpet sama seperti anak kecil lainnya di negeri kakak. Sama seperti adik kecil kakak. Hanya saja kami tidak bermain bersama teman seusia melainkan harus bermain bersama orang dewasa bersenjata api. Mereka Zionis yang ingin merebut negeri kami. Bahkan tak jarang mereka merebut nyawa saudara-saudara kami. Ya, saudara kakak juga.
Kalau anak-anak kecil di negeri kakak bersembunyi di balik pohon atau dinding rumah mereka saat main petak umpet, kami di sini hanya bersembunyi di balik sisa reruntuhan tembok rumah-rumah kami. Sebab rumah kami juga tak luput dari rudal om-om bersenjata itu. Tak jarang mereka juga menghujamkan senjatanya ke teman seusiaku jika kami sedang berpapasan. Padahal kami tidak membuat kesalahan dan kami juga tidak menginjak kaki mereka. Sungguh. Tapi ternyata, bertemu mereka adalah sebuah kesalahan sehingga tidak sedikit di antara kami harus merasakan darah bercucuran dari pelipis dan kepala karena sepatu yang mereka pakai melayang begitu saja. Dan tidak sedikit tubuh teman seusiaku harus mengucurkan darah karena ditembus peluru-peluru senjata mereka. Aku yakin, di negeri kakak permainan petak umpetnya tidak seperti di negeriku kan, Kak?
Setiap akan tidur, ummi selalu menutup telingaku dengan sesuatu bahkan kadang sengaja mencari kapas untuk menyumbatnya serapat mungkin. Kata ummi agar aku bisa tidur dengan nyenyak. Padahal sebenarnya aku sudah mulai terbiasa dengan suara ledakan dan dentuman itu. Tapi ummi tetap saja ummi, ummi berbaik hati melakukannya padahal ummi sendiri hampir tidak pernah tidur setiap malam sebab harus menjagaku.
Kak... Jika anak-anak kecil seusiaku di negeri kakak atau negeri lainnya selalu melihat sinar indah mentari pagi setiap hari saat bangun dari tidurnya, kami di sini hanya melihat kepulan asap hitam bekas hantaman rudal mengepul ke angkasa membuat mentari tak berani menampakkan diri. Jika anak-anak kecil seusiaku di negeri kakak atau negeri lainnya selalu mendengar kicau merdu burung-burung setiap pagi, kami di sini selalu mendengar teriakan dan tangisan saudara kami yang kehilangan anak, ibu, ayah, kakek, nenek, om atau tantenya. Di sini kami tidur siaga dan bangun disambut duka. Tapi tidak mengapa, Kak. Sungguh kami sudah terbiasa...
Jika anak-anak kecil di negeri kakak menonton kartun favoritnya setiap hari, aku dan teman-teman seusiaku di sini selalu melihat darah mengalir seperti air dari tubuh-tubuh saudara kami, tetangga kami, bahkan teman seusia kami saat sedang mencari kerikil bersama. Kadang kerikil itu kami jadikan kelereng untuk bermain. Maaf kakak, bukan tidak serius mengumpulkan kerikil tapi sungguh kami tidak bisa menghindar dari fitrah. Sungguh, kami masih anak-anak. Kami bermain sambil berperang. Kepulan asap dan besarnya api adalah tontonan kami hampir setiap hari. Tapi sungguh, kami tidak pernah main-main saat harus melemparkan kerikil-kerikil itu ke wajah dan tank-tank milik Yahudi Israel La’natullah! Bagi kami yang kecil ini, mereka tak lebih dari binatang menjijikkan yang halal dibunuh! Sungguh, Kak. Kami tidak pernah lari saat harus bertemu mereka. Percayalah...
Kak, di sini jumlah sholat kami bertambah. Kami harus sholat 6 kali dalam sehari. 5 kali untuk sholat fardhu dan satunya lagi untuk sholat jenazah. Bahkan sehari kami bisa sholat jenazah berkali-kali. Apakah di negeri kakak jumlah sholatnya jadi bertambah seperti di negeri kami?
Kak... Apakah di sana juga ada suara dentuman? Bukan ledakan petasan, Kak. Maksudku suara ledakan bom dan rudal. Atau paling kecil suara dentum peluru yang memabi-buta. Di sini kami tidak butuh petasan, Kak. Kami justru ingin merakit bom sendiri untuk membantu abi melawan Zionis. Hmm... Tidak ada ya? Di sini banyak sekali, Kak. Namun suara-suara itu terdengar seperti orkestra dari syurga. Suara yang kata banyak orang menakutkan  itu, di sini menjadi suara yang indah. Seolah suara itu berbisik kepada kami, “ Syurga semakin dekat.... kemarilah wahai para perindu syahiid...” Jika beruntung, maka salah satu di antara kami akan benar-benar melihat syurga sesaat setelah tubuh kami hancur diledak rudal atau tercabik oleh jutaan peluru. Seketika aroma kasturi melangit di bumi suci kami, Palestina. Kakak mau coba? Kemarilah... temani aku mengumpulkan peluru.
Kak, tiba-tiba aku rindu sekali pada Abi. Tapi kata Ummi, Abi sedang menunggu di satu tempat paling baik, paling indah dan paling nyaman. Tempat terbaik yang belum pernah ada di dunia. Aku tidak mengerti maksud Ummi. Bagaimana bisa Ummi bilang tempat itu paling indah tapi tidak pernah ada di dunia? Apa kakak mengerti maksud Ummi? Jika mengerti, tolong beritahu aku ya, Kak. Dan jika kakak bertemu Abi, tolong katakan padanya bahwa aku rindu... suruh Abi pulang ya, Kak. Aku rindu, Abi. Sungguh...






Kamis, 06 Maret 2014

Tiga Hal yang Harus Diajarkan Orang Tua pada Anak



Anak adalah aset paling berharga yang dimiliki oleh para orang tua. Maka sebagai orang tua sudah seharusnya lah kita mendidik, menjaga dan mengasuh mereka dengan pola asuh yang baik. Sehingga ketika mereka besar, mereka akan menjadi pribadi-pribadi baik, unggul dan luar biasa.
Pada dasarnya setiap anak itu istimewa. Sebab anak dilahirkan dari proses perjuangan panjang. Anak  lahir dan berasal dari satu sel sperma istimewa yang lolos dari ribuan bahkan jutaan sperma lain yang saat itu sama-sama berjuang untuk masuk ke dalam sel telur. Karena itulah setiap anak adalah  istimewa sebab dari ribuan sel itu ia terpilih menjadi seorang manusia yang diamanahi Tuhan untuk hidup di dunia ini.
Berbahagialah para Ayah dan Ibu, sebab tidak semua pasangan suami isteri memiliki anak. Banyak pasangan yang sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun menikah namun belum dianugerahi buah hati. Maka sudah sepantasnya kita bersyukur dengan mendidik dan mengajar anak yang kita miliki dengan sepenuh cinta.
Para orang tua seringkali berlebihan bahkan sampai emosi setiap kali anak melakukan kekeliruan. Orang tua lebih mudah memberi sanksi saat anak melakukan kesalahan namun lupa mengapresiasi anak saat ia melakukan kebaikan atau sesuatu yang positif.
Posisikanlah anak-anak sebagai anak-anak. Jangan sesekali memandang anak sebagai manusia  dewasa. Sebab anak bukan orang dewasa yang berukuran mini. Bila anak melakukan kesalahan, pakailah kaca mata anak-anak untuk mengukur kesalahan tersebut. Bukan memakai kacamata orang dewasa. Sebab dalam dunia anak-anak, bermain adalah belajar. Anak-anak mendapat pelajaran dari permainan yang mereka mainkan. Begitulan proses belajar anak. Mereka belajar dari pengalaman bermainnya.
Ketika anak bermain ayunan lalu terjatuh, tidak heran bila mereka akan tetap bermain. Walau pun ketika jatuh mereka akan menangis. Namun mereka akan mengulanginya kembali dengan tehnik dan cara yang berbeda dengan sebelumnya. Karena sesungguhnya dari bermain dan dari jatuh itu anak sedang belajar sesuatu. Maka orang tua yang bijak adalah bukan orang tua yang terlalu banyak melarang anak untuk bermain ini dan itu. Orang tua yang bijak adalah orang tua yang mampu mengawasi anak dan meminimalisir bahaya saat anak sedang bermain.

Dalam acara Talk Show bertema “ Bijak dalam Mendidik Anak” yang berlangsung hari ini pada pukul 10.00 wib di RA. Adzkia Jl. Datuk no. 2 Pelawi Utara Pangkalan Berandan Kab. Langkat dengan ditemani moderatornya Bapak Supriadi, S.Ag. Psikolog bernama Bapak Samsul Bahri, S.Psi. ini menyampaikan bahwa  ada TIGA hal yang harus kita lakukan sebagai orang tua. Tiga hal tersebut adalah:
1.       Ajari anak untuk selalu meminta maaf ketika ia melakukan kesalahan atau kekeliruan
Jika kita para orang tua menginginkan anak menjadi pribadi yang baik dan positif maka kita harus menjadikan diri kita sebagai pribadi yang baik dan positif terlebih dahulu. Ucapkan kata “maaf” pada anak anda jika anda melakukan sebuah kesalahan atau kekeliruan. Ini akan mengajarkan anak untuk meminta maaf bila suatu saat ia melakukan kesalahan dan kekeliruan.
2.       Ajari anak untuk selalu  mengucapkan kata ‘tolong’ saat meminta bantuan
Ucapkanlah kata “tolong” sebelum kita meminta anak untuk mengerjakan suatu perintah atau bantuan. Misalnya, “ Nak, tolong ambilkan pulpen Bunda di atas meja ya...” Ini akan mengajarkan anak untuk selalu mengucapkan kata tolong saat ia meminta bantuan pada kita orang tuanya maupun pada orang lain. Dan sekaligus mengajarkan anak untuk tidak sombong atau semena-mena memerintah orang lain.
3.       Ajari anak untuk selalu mengucapkan terima kasih
Orang tua yang selalu mengucapkan terima kasih saat anak membantunya mengambilkan sesuatu yang diperintahkan, secara tidak langsung orang tua telah mengajari anak arti terima kasih. Sehingga suatu saat anak akan kembali mengucapkan “terima kasih” pada orang lain yang telah membantu atau berbuat baik padanya.