Sabtu, 08 Agustus 2015

Aku, Kau dan Syurga-Nya



Rindu adalah jarak dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya. Di mana intensitas pertemuan tersekat oleh waktu yang mengharuskan kita menunggu untuk bisa bertemu lagi pada hari yang tentu tidak sama lagi seperti kemarin. Sedang pertemuan yang lalu selalu menjadi memori pengikat hati antara aku dan kau yang sekarang entah di mana. Dan pertemuan berikutnya adalah obat bagi rindu-rindu yang akut.

Bertanya kabar lewat udara pun tak lagi bisa. Kita benar-benar tersekat jarak, waktu dan kabar. Kau menghilang, namun dalam bayang selalu terkenang. Baru sehari kita bersua suara, baru sehari kita bertaut cerita, baru sehari kita bisa saling melepas pelukan  meski hanya lewat pesan udara dan baru sehari kita duduk bersama dalam ruang yang berbeda nama. Setelah sekian juta detik berputar dalam kurun waktu yang menahun, menahan sebuah pertemuan.

Ini adalah hari keenam keberadaanmu di sini, seharusnya. Ini juga hari kelima pasca pertemuan kita enam hari yang lalu, kalau saja pertemuan itu terjadi. Namun sampai hari ini tak ada kabar yang kudengar. Tidak juga suara deringan ponsel yang menandakan panggilan atau pesan masuk bertuliskan namamu. Tidak. Tidak ada sama sekali. Bahkan semua nomormu tidak dapat dihubungi. Semuanya di luar jangkauan, di luar perkiraan. Tidak dapat dihubungi. Aku seperti kehilangan jejak kaki pada sebuah jalan tak bertuan. Sedang rumah bagi rindu kita ada di sana, di ujung jalan itu.

“ Ukhti......”

“ Ya,” sahutku. Saat tiba-tiba kau memanggilku setelah berhenti sejenak dari cerita panjang yang sudah memakan waktu dua jam lebih. Lewat telepon genggam yang mungkin sudah demam karena suhu tubuhnya meningkat akibat terlalu lama dipakai pemiliknya.

“ Ukhti tahu tidak, selama ini ana selalu merindukan ukhti. Dalam setiap do’a, ana menyelipkan nama ukhti agar hati kita selalu terpaut dalam bingkai ukhuwah dan cinta karena Allah. Meskipun jarak memisahkan raga namun jarak tidak akan bisa memisahkan nama ukhti dari bait doa yang ana punya. Berharap agar Allah selalu mengistiqomahkan kita dan menjaga kita dalam hidayah-Nya. Karna ana yakin, doa adalah penguat ikatan di hati kita, meski bertahun-tahun lamanya kita tak bersua. Dan ana pun percaya, ukhti juga selalu mendoakan ana. Sebab di hati ini terasa bahwa ukhti selalu ada, ukhti dekat dan tidak kemana-mana.” Katamu dengan suara yang mengalir. Membuat airmataku juga turut serta dengan alirannya.

Aku terdiam sejenak. Memberi jeda bagi hati yang sebenarnya sedikit perih setelah mendengarkan apa yang kau ungkapkan barusan. Bukan karena terluka dengan kata-katamu, tidak. Sungguh, bukan itu. Aku hanya merasa berdosa, karena beberapa bulan yang lalu aku merasa ditinggalkan. Ditinggal oleh semua saudara yang dulu terikat dalam bingkai persaudaraan yang indah. Aku sempat tidak percaya lagi dengan sesuatu bernama ukhuwah. Aku merasa kehilangan hangatnya mentari yang kita nikmati kemarin, saat kita duduk di bawah rindangnya pohon di tengah hari yang cerah sambil disapa angin yang ramah. Merasa sendiri. Meski aku tahu, Allah tak pernah membiarkan hambanya sendiri. Merasa sendiri adalah satu keadaan yang paling menyakitkan. Kerinduan yang begitu dalam pada saudara seperjuangan di masa lalu, membuatku amnesia dari cara berpikir positif.

“ Ana sangat ingat dengan hadits yang mengatakan bahwa kita akan bersama dengan yang kita cintai di syurga nanti. Beberapa waktu yang lalu ana mimpi ketemu Ukhti. Ana berharap hadits ini berlaku untuk kita, untuk cinta yang terjalin karena ukhuwah di jalan Allah ini. Ana sangat berharap kelak kita berdua bertemu di syurga karena hadits ini. Entah kenapa ana merasa Ukhti selalu dekat meski jarak kita sekarang jauh sekali bahkan pernah beberapa tahun hilang komunikasi. Ana merasa do’a ukhti menyentuh perasaan ana dan ana pun selalu berdo’a agar Allah tetap menjaga kita berdua sehingga kita selalu saling mendoakan. Ana benar-benar rindu...”

Oh, Tuhan... Semakin sesak saja rasanya mendengar kalimat yang keluar dari lisannya. Sesak karena merasa berdosa pernah su’uzhon padanya, pernah merasa diabaikan, pernah merasa dilupakan. Aku sadar aku begitu bodoh, membiarkan setan menari dalam pikiran yang sudah  mengidap rindu sedemikian akut. Benarlah yang Engkau katakan, “ Sesungguhnya sebagian prasangka itu tidak baik....”. Hari ini Engkau membuktikan bahwa jika tidak bisa berprasangka baik, maka jangan pernah berprasangka buruk karena prasangka buruk tidak mengandung kebaikan sedikit pun. Hanya menjadi penyakit bagi pelakunya.
Walau begitu, walau aku selalu merasa terlupakan oleh teman-teman seperjuangan kita dahulu dan juga merasa dilupakan olehmu, namun aku tetap saja berdoa agar Allah memanggilmu, lalu membisikkan sebuah nama yang di sini selalu merindu, aku. Dan kini doa-doa kita dipertemukan oleh-Nya. Maaf karena pernah berprasangka padamu, Ukhti. Ampuni hamba-Mu ini Rabbii...

Terimakasih Allah, terimakasih Ukhti. Aku, kau dan syurga-Nya semoga menjadi nyata. Uhibbuki fillah...

Tidak ada komentar :

Posting Komentar