Rindu adalah jarak dari satu
pertemuan ke pertemuan berikutnya. Di mana intensitas pertemuan tersekat oleh
waktu yang mengharuskan kita menunggu untuk bisa bertemu lagi pada hari yang
tentu tidak sama lagi seperti kemarin. Sedang pertemuan yang lalu selalu
menjadi memori pengikat hati antara aku dan kau yang sekarang entah di mana. Dan
pertemuan berikutnya adalah obat bagi rindu-rindu yang akut.
Bertanya kabar lewat udara pun
tak lagi bisa. Kita benar-benar tersekat jarak, waktu dan kabar. Kau
menghilang, namun dalam bayang selalu terkenang. Baru sehari kita bersua suara,
baru sehari kita bertaut cerita, baru sehari kita bisa saling melepas
pelukan meski hanya lewat pesan udara
dan baru sehari kita duduk bersama dalam ruang yang berbeda nama. Setelah sekian
juta detik berputar dalam kurun waktu yang menahun, menahan sebuah pertemuan.
Ini adalah hari keenam
keberadaanmu di sini, seharusnya. Ini juga hari kelima pasca pertemuan kita
enam hari yang lalu, kalau saja pertemuan itu terjadi. Namun sampai hari ini tak
ada kabar yang kudengar. Tidak juga suara deringan ponsel yang menandakan
panggilan atau pesan masuk bertuliskan namamu. Tidak. Tidak ada sama sekali.
Bahkan semua nomormu tidak dapat dihubungi. Semuanya di luar jangkauan, di luar
perkiraan. Tidak dapat dihubungi. Aku seperti kehilangan jejak kaki pada sebuah
jalan tak bertuan. Sedang rumah bagi rindu kita ada di sana, di ujung jalan
itu.
“ Ukhti......”
“ Ya,” sahutku. Saat tiba-tiba
kau memanggilku setelah berhenti sejenak dari cerita panjang yang sudah memakan
waktu dua jam lebih. Lewat telepon genggam yang mungkin sudah demam karena suhu
tubuhnya meningkat akibat terlalu lama dipakai pemiliknya.
“ Ukhti tahu tidak, selama ini
ana selalu merindukan ukhti. Dalam setiap do’a, ana menyelipkan nama ukhti agar
hati kita selalu terpaut dalam bingkai ukhuwah dan cinta karena Allah. Meskipun
jarak memisahkan raga namun jarak tidak akan bisa memisahkan nama ukhti dari
bait doa yang ana punya. Berharap agar Allah selalu mengistiqomahkan kita dan
menjaga kita dalam hidayah-Nya. Karna ana yakin, doa adalah penguat ikatan di
hati kita, meski bertahun-tahun lamanya kita tak bersua. Dan ana pun percaya,
ukhti juga selalu mendoakan ana. Sebab di hati ini terasa bahwa ukhti selalu
ada, ukhti dekat dan tidak kemana-mana.” Katamu dengan suara yang mengalir.
Membuat airmataku juga turut serta dengan alirannya.
Aku terdiam sejenak. Memberi jeda
bagi hati yang sebenarnya sedikit perih setelah mendengarkan apa yang kau
ungkapkan barusan. Bukan karena terluka dengan kata-katamu, tidak. Sungguh,
bukan itu. Aku hanya merasa berdosa, karena beberapa bulan yang lalu aku merasa
ditinggalkan. Ditinggal oleh semua saudara yang dulu terikat dalam bingkai
persaudaraan yang indah. Aku sempat tidak percaya lagi dengan sesuatu bernama ukhuwah. Aku merasa kehilangan hangatnya
mentari yang kita nikmati kemarin, saat kita duduk di bawah rindangnya pohon di
tengah hari yang cerah sambil disapa angin yang ramah. Merasa sendiri. Meski
aku tahu, Allah tak pernah membiarkan hambanya sendiri. Merasa sendiri adalah
satu keadaan yang paling menyakitkan. Kerinduan yang begitu dalam pada saudara
seperjuangan di masa lalu, membuatku amnesia dari cara berpikir positif.
“ Ana sangat ingat dengan hadits
yang mengatakan bahwa kita akan bersama dengan yang kita cintai di syurga
nanti. Beberapa waktu yang lalu ana mimpi ketemu Ukhti. Ana berharap hadits ini
berlaku untuk kita, untuk cinta yang terjalin karena ukhuwah di jalan Allah
ini. Ana sangat berharap kelak kita berdua bertemu di syurga karena hadits ini.
Entah kenapa ana merasa Ukhti selalu dekat meski jarak kita sekarang jauh
sekali bahkan pernah beberapa tahun hilang komunikasi. Ana merasa do’a ukhti
menyentuh perasaan ana dan ana pun selalu berdo’a agar Allah tetap menjaga kita
berdua sehingga kita selalu saling mendoakan. Ana benar-benar rindu...”
Oh, Tuhan... Semakin sesak saja
rasanya mendengar kalimat yang keluar dari lisannya. Sesak karena merasa
berdosa pernah su’uzhon padanya, pernah merasa diabaikan, pernah merasa
dilupakan. Aku sadar aku begitu bodoh, membiarkan setan menari dalam pikiran
yang sudah mengidap rindu sedemikian
akut. Benarlah yang Engkau katakan, “ Sesungguhnya
sebagian prasangka itu tidak baik....”. Hari ini Engkau membuktikan bahwa
jika tidak bisa berprasangka baik, maka jangan pernah berprasangka buruk karena
prasangka buruk tidak mengandung kebaikan sedikit pun. Hanya menjadi penyakit
bagi pelakunya.
Walau begitu, walau aku selalu
merasa terlupakan oleh teman-teman seperjuangan kita dahulu dan juga merasa
dilupakan olehmu, namun aku tetap saja berdoa agar Allah memanggilmu, lalu
membisikkan sebuah nama yang di sini selalu merindu, aku. Dan kini doa-doa kita
dipertemukan oleh-Nya. Maaf karena pernah berprasangka padamu, Ukhti. Ampuni
hamba-Mu ini Rabbii...
Terimakasih Allah, terimakasih
Ukhti. Aku, kau dan syurga-Nya semoga menjadi nyata. Uhibbuki fillah...